subversi
sub-ver-si /subvérsi/ n gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang.
                                      Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi Android)

I said I love The Smith

“Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun
berapa lamapun selama aku mencintainya.”

–Seno Gumira Ajidarma, pada cerita pendek “Linguae”

“Aku mencintaimu itu sebabnya aku takkan pernah
selesai mendoakan keselamatanmu.”

–Sapardi Djoko Damono, pada sajak “Dalam Doaku”

“Kadang cinta hanya bisa bicara lewat selongsong senapan.”
–Buenaventura Durruti

“..love’s not only blind but deaf.”
–Arctic Monkey, Fake Tales of San Francisco

“Why do we need love anyway? If in the end its all about
feeding, breeding, protecting?”

–Tigapagi, Vertebrate Song (The Maslow)

***

“The artist, and particulary the poet, is always an anarcist, and can only listen to the voices that rise up from within his own being, three imperious voices: the voice of Death, with all its presentiments; the voice of Love and the voice of Art.”

–Federico Garcia Lorca (1898 – 1936)1

Lorca mendiskripsikan seorang seniman atau penyair adalah seorang yang anarkis karena hanya akan mendengarkan suara yang tumbuh dalam dirinya sendiri yaitu suara Kematian, suara Cinta dan suara Seni. Dan memang di situ tertulis dengan jelas, salah satunya: suara Cinta.

Mengapa salah satunya cinta adalah alasan kenapa seniman atau penyair itu sendiri menjadi lebih anarkis dari alasan di atas. Kematian sendiri menjadi hal yang disegani. Ia adalah sebuah akhir yang bisa jadi dramatis ataupun ironis. Seni pun menjadi hal yang bisa dipandang menyelamatkan kehidupan sehari-hari, yang semakin lama semakin mlenyok dan menjijikkan, karena seni sendiri merupakan representasi tembok idealisme seseorang. Sementara cinta? Hok hok hok hokya..

Sekian lama cinta telah terdegradasi menjadi hal klise. Singkatnya, coba kalau kita menonton di televisi, remeh temeh sinetron dan picisan murahan. Cinta yang malas dan mengendap pada lirik-lirik lagu di chart acara musik pagi-pagi. “Cinta yang tak habis-habis, takkan juga habis-habis.” kalau kata Melbi.

Saya tidak akan bicara soal cinta-subversif seperti yang diartikan mentah-mentah oleh KBBI di atas. Bukan cinta yang universal. Namun cinta yang serba dangkal. Bukan tentang cita-cita revolusi yang serba kiri. Namun soal kebanalan itu sendiri. Dan tentu, pada tulisan saya ini, saya akan banyak melenguh dan mengeluh. Bisa jadi ini menjadi tulisan yang berbau naif dan optimistis daripada realistis, sebab bawasanya cinta (entah semenjak kapan) diakui sebagai hal yang ideal daripada sebagai bentuk keniscayaan. Mengerikan, bukan?

Cinta itu subversif. Dan seharusnya memang begitu.

Subversif dalam hal ini adalah bahwa cinta adalah zat yang selalu bergerak pada suatu arah meski pada trajektorinya selalu terdapat hal-hal yang berlawanan arah dan memiliki potensi untuk memotong pergerakan cinta itu sendiri. Cinta menjadi satu-satunya zat yang murni, sebegitu murni sehingga menjadi zat yang tidak akan berhenti, yang akan terus merembes dan membasahi. Seberapapun tebal tembok yang menghalangi.

Cinta bisa saja mendobrak tatanan dan norma adat. Batasan-batasan seperti suku, ras, agama, dan antar golongan, atau basa-basi jawa macam bibit bebet bobot bisa diabaikan begitu saja.

Meminjam kredo Sudjiwo Tedjo: Kamu bisa merencanakan akan menikahi siapa, namun kamu tidak akan bisa merencanakan cintamu untuk siapa. Pun menurut penulis, menikah tidak (lagi) bicara soal urusan cinta namun kesepakatan. Ya, gampangannya, cinta itu takkan cukup dan takkan mencukupi. Namanya saja kesepakatan, ya, mesti ada syarat-syarat yang mesti disepakati. Nah, di sini cinta menjadi antipati. Tapi tentu tak semua “kontrak cinta” seperti itu, kan ya? Jadi tak usah repot-repot bicara soal cinta kalau menikah cuma jadi beban pikiran untuk urusan keturunan atau bagaimana cara cari makan. Life is to live and love is to love. Maka termuliakanlah mereka yang menikah lalu hidup bersama karena memang saling mencintai.

***

Teman saya pernah bertanya-tanya, atau lebih tepatnya, kebingungan. Kenapa ada seseorang membanting tenaga, waktu dan dompet untuk kekasihnya yang notabene belum pasti jadi muara cintanya kelak. Cinta yang subversif dan cinta yang buta memang bedanya tipis. Tapi sesia-sianya kita mencintai seseorang, bukankah terasa membahagiakan apabila kita bisa di dekat seseorang yang kita cintai?

“Itu racun, racun.” tambah teman saya itu menjelang akhir pembicaraan.

Ya, memang. Bahkan teman saya itu mengakui tidak mendapat apa-apa ketika dia hampir setiap hari mengantar jemput atau sekedar mengeslahkan sepeda motor pacarnya ketika sedang macet. “Tapi kowe seneng to iso ngewangi yangmu sik lagi kangelan po keno alangan?” Ya, seharusnya ia merasa bahagia. Mulai dari sini cinta mungkin mulai menjadi jenuh dan membanal karena rasa ingin mengasihi tidak bisa dihindari, dan memang sebenarnya tak usah dihindari. “Jika saja ada jendela dan jika saja ada segelas soda.” kata Melbi lagi, soal cinta yang lama-lama mengendap dan mempengapkan.

Namun cinta tak melulu seperti itu. Itulah mengapa cinta lebih subversif dari yang kita bayangkan.

Bagaimanapun, mau tak mau, cinta tak melulu soal kasih mengasihi. Di sini cinta terasa—untuk yang tak kuat ataupun yang tak paham—mengerikan. Bawasanya cinta menjelma menjadi hal-hal yang membuat kita bertanya-tanya. Ketika cinta telah moksa dan mencapai level tertentu, tak semua orang bisa merasakan keberadaannya. Jika Durruti bisa berseru bahwa kadang cinta hanya bisa bicara lewat selongsong senapan, lalu kenapa cinta tidak bisa menjelma menjadi bentuk yang tidak pernah kita kira sebelumnya? Merelakan seseorang, misalnya (walaupun saya tidak akan membahas secara teo-sentris namun secinta-cintanya kita karena Tuhan pun, adalah cinta yang ikhlas, bukan?). Itsudemo..2

Memang kebanyakan yang saya tulis seperti orang tanggung yang terobsesi dengan tayangan sinetron ala FTV. Tapi, ya, mendinganlah daripada berkata realistis, namun dalam artian yang lain: realistis karena menyerah pada realita. Dan dengan tidak bermaksud menggurui dan lalu meniru khatib shalat jumat yang berkhutbah untuk dirinya sendiri, maka memang tidak ada salahnya jika Dewa 19 menulis lagu berjudul “Cintailah Cinta”. Sebab adanya cinta sendiri memang untuk dicintai. Cinta adalah niscaya. So, gimana-gimana, My Love?

Catatan:

  1. Kutipan Federico Garcia Lorca diambil dari majalah Horison pada rubik Catatan Kebudayaan berjudul Musuh-musuh Puisi atawa Cara Menulis Puisi Jelek, edisi November 2010.
  2. Frasa pertama pada bait reff lagu berjudul One more time, One more Chance oleh Yamazaki Masayoshi. Versi bait panjangnya: Itsudemo sagashiteiru yo dokka ni kimi no sugata wo (Aku selalu mencari di manapun keberadaanmu). Kabarnya ia menulis lagu tersebut untuk kekasihnya yang meninggal sewaktu terjadi gempa besar di Jepang.

Potongan gambar diambil dari film (500) Days of Summer (Marc Webb, 2009)

 

Dan lalu… playlist saya memainkan Float: Tidakkah cinta berkuasa? Tak semestinya luka menghentikan langkah. Bila saatnya, hadapilah!